#Terima Kasih Atas Kunjungan Anda di Blog Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam LALIMPALA Univ. Tadulako Palu Sulawesi Tengah-Indonesia# Selamatkan Bumi Indonesia hari ini dan mulai dari lingkungan kita sendiri#Save Our Earth

Rabu, 15 Oktober 2008

Menjamah Gelapnya Bumi


PENELUSURAN GUA
Romantika Perut Bumi


Caving atau penelusuran gua, boleh dibilang cukup lama dikenal Indonesia. Persisnya kegiatan ini sudah mulai marak tahun 1980-an, ketika Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina) dibentuk di Bogor dengan tokoh-tokohnya antara lain dr. Ko King Tjoen, Norman Edwin (alm), Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman. Mulailah dari sini kegiatan yang jadi hobi baru kala itu menyebar, terutama di kampus-kampus.

Hobi ini agaknya di awal perkembangannya terseok-seok karena yang didalaminya tak melulu keterampilan fisik saja namun juga aspek ilmiahnya. Selain, peralatan yang dibutuhkan pun sulit dibeli di sini. Specavina, ketika itu pula agak selektif membagi ”ilmu” pada peminat. Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya (speleologi) ketimbang ”olahraganya” (caving).
Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya. Dengan dasar pengetahuan ini, caver (penelusur gua) bisa dengan mudah menemukan gua. Sebab, mereka hanya akan mendatangi wilayah yang banyak terdapat batu gamping.
Secara teori demikianlah adanya. Gua banyak terdapat di kawasan batu gamping (karst). Berbekal pengetahuan itu pula jika bisa membaca peta geologi, maka di mana saja sebaran daerah karst, di sana tujuan yang tepat untuk perjalanan melakukan ekspedisi.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua (biospeleologi). Memang tak harus menjadi ahli biologi dulu baru bisa menekuni caving. Tapi paling tidak dengan modal ”baca-baca” dulu, penelusur gua bisa membandingkan flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Atau mungkin dia menemukan spesimen baru yang bisa menambah khasanah pengetahuan biologi gua di Indonesia. Dia pun menjadi tahu bagaimana cara menyimpan koleksi itu dengan baik sebelum dibawa ke pakarnya untuk diidentifikasi.

Keunikan

Fauna gua terbilang unik. Semuanya beradaptasi dengan lingkungan gelap abadi tak hanya terbilang puluhan atau ratusan, tapi ribuan tahun. Mereka berevolusi disesuaikan dengan alamnya yang gelap gulita. Di sebuah gua di Amerika pernah ditemukan salamander transparan dan tak bermata (eyeless), bahkan buta (blind). Diduga salamander itu terjebak di dalam gua dan tak bisa keluar.
Untuk bertahan hidup satwa itu mengembangkan indera peraba dan perasanya sedemikian rupa untuk menggantikan fungsi matanya. Lama-kelamaan alat penglihatan itu tertutup selaput karena mubazir.
Begitu pun flora dalam gua yang beradaptasi dengan lingkungan gelap total. Tumbuhan untuk hidup di permukaan memerlukan sinar matahari. Tumbuhan berdaun belum pernah dilaporkan ditemukan di dalam gua. Yang lazim dijumpai adalah aneka jamur yang bentuknya aneh-aneh. Misalnya ada jamur yang memiliki leher yang panjang, dengan topi kecil namun lunglai.
Di Indonesia penemuan satwa gua yang terbilang sensasional pernah terjadi. Tapi sayangnya itu tak tercatat di lembaga resmi pemerintah atau internasional. Di tahun 1980-an, persisnya tahun berapa sudah .lupa, klub penelusur gua Garbhabhumi dari Jakarta ketika terjadi gerhana matahari total, masuk ke Gua Ngerong di Tuban, Jawa Timur. Bentuk gua itu adalah gua air yang merupakan sungai.
Klub yang dipimpin Norman Edwin (alm) saat itu menerobos masuk dan melawan arus dengan perahu karet. Tak sampai satu kilometer, mereka terbentur air terjun. Setelah memanjat air terjun, langkah mereka terhenti sebab di bagian atasnya terdapat mata air. Lorong itu mungkin bisa ditelusuri lebih jauh, namun memerlukan teknik dan peralatan diving. Diputuskan ketika itu untuk stop dan kembali ke luar.
Di bagian inilah mereka secara tak sengaja melihat kelap-kelip di dalam air yang memantul dari sinar lampu. Ternyata barang yang mengkilat itu adalah ikan. Setelah dipelototin lebih dekat lagi, ikan itu tak bermata dan transparan.
Dibalut rasa girang, spesimen itu dibawa ke Jakarta untuk diidentifikasi. Beberapa bulan ikan yang mirip anak tawes itu masih hidup dalam akuarium yang dikondisikan seperti di alamnya oleh Riza Marlon (kini juru foto profesional).
Oleh Yatna Supriatna, kini doktor biologi, temuan itu diidentifikasi sebagai Puntius microps. Sebagai pembanding, satwa eyeless di gua di Amerika atau Eropa baru dijumpai di kedalaman puluhan kilo sampai ratusan. Tapi di Tuban, tak sampai 2 kilometer. Mungkin ini bisa menjadi bahan kajian ilmuwan kita yang tertarik pada cave biology. Jika di sana, gua bisa melahirkan ratusan doktor, mengapa di sini tak bisa? Takut gelapkah, becek dan bayangan mistis tentang gua yang mengakibatkan orang enggan berurusan dengannya?

Pemetaan Gua

Masuk gua memang bukan sekadar masuk dan mengagumi keindahan di dalamnya saja. Namun banyak yang harus dikerjakan. Apalagi ketika zaman itu belum banyak perkumpulan penelusur gua sehingga untuk mengklaimnya harus dibuktikan dengan peta dan foto-foto. Keakuratan peta sebuah gua dilihat dari siapa yang membuatnya. Sayangnya kebanggaan dan semangat untuk membuat peta gua oleh klub-klub caving di Indonesia, melempem.
Hal ini berbeda dengan kondisi klub penelusur gua di luar negeri. Mereka begitu getol menyusun peta gua hingga ke hal yang detail. Sampai akhirnya tercipta lambang-lambang khusus dalam pemetaan gua yang jelimet. Jika ada hal khusus yang ditemukan, misalnya speleothems (bentukan gua seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, straws, pearls cave dan sebagainya) yang mungkin istimewa bentuknya, biasanya peta itu dibuat irisan dengan gambar detail atau lambang. Di peta tersebut biasanya tercantum grade, semakin tinggi angka yang tercantum dalam grade itu maka semakin akurat peta itu dibuat.
Di sana yang enak adalah generasi selanjutnya. Jika ingin masuk gua tinggal masuk dengan panduan peta. Namun penelusur di sana bukan sekadar mengikuti petunjuk peta.
Bila denah yang dibuat sebelumnya ada kesalahan maka akan dikoreksi dan dilaporkan ke paguyuban penelusur gua. Maka tak mengherankan jika kini hampir pasti peta gua di negara-negara maju, akurat. Semua gua sudah terpetakan yang diikuti dengan data base yang lengkap.
Saking lengkapnya, mereka bisa tahu mana gua yang terpanjang atau yang terdalam di dunia. Gua yang terdalam dan sampai kini belum terpecahkan rekornya adalah Voronja Cave di Georgia, pecahan bekas Uni Soviet, yakni 1.710 meter.
Bayangkan untuk menuruninya berapa panjang tali yang dipakai dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke dasar gua. Sementara gua yang terpanjang dan kompleks sekali lorong-lorongnya adalah Mammoth Cave di Amerika Serikat yakni, 563,270 km dan dalamnya -116 m. Lebih lengkapnya silakan klik www-sop.inria.fr/agos-sophia/sis/DB/database.html. Di sini ada sedikit data gua di Indonesia.
Kabar bahwa pemetaan gua tak begitu berjalan di Indonesia, sudah bisa dimaklumi. Karena penggemar caving di sini cenderung menyukai dari sisi olahraga dan petualangannya. Aspek ilmiah bukannya tak menarik, tapi kurang menguasai. Pakar biologi atau geologi yang sesungguhnya di Indonesia, adakah yang membangun tesis dari gua? Kalaupun ada mungkin jumlahnya tak sampai hitungan jari sebelah tangan.

Incaran Dunia

Potensi gua di negeri ini sebetulnya tak kalah menarik dengan yang ada di luar negeri. Ketika tahun 1980-an, wilayah ini menjadi incaran caver dunia. Berbagai cara mereka lakukan untuk bisa caving di sini, namun terbentur peraturan yang menyebutkan peneliti asing harus seizin LIPI. Adanya peraturan itu sebetulnya ada bagusnya. Mereka jadi tak seenaknya ”mengeksplorasi” gua di Indonesia. Sayangnya, kesempatan itu tak dipakai oleh penelusur gua kita untuk menjadikan dirinya sebagai yang pertama.
Belakangan seorang ahli geologi yang juga seorang caver berkebangsaan Inggris, Tony Waltham, masuk lewat jalur sebuah departemen. Dia datang konon membantu pengairan di daerah Gunung Kidul yang tandus.
Sebagai pakar geologi, dia tahu betul bahwa air di sana hanya dijumpai di sungai bawah tanah alias di dalam gua-gua. Dia pun paham bahwa Gunung Kidul adalah kawasan karst yang nota bene adalah sarangnya gua yang belum diutak-atik oleh caver mana pun. Sepulangnya dari Indonesia tak lama kemudian terbitlah buku tentang gua-gua di sana, berikut foto-foto yang menawan.
Potensi gua yang masih menjanjikan, menurut peta geologi terletak di Sulawesi dan Papua. Tapi yang menantang adalah yang di Papua. Di peta tertulis selain kawasan karstnya luas, juga ”ketebalannya” mencapai ribuan meter. Artinya, jika ada gua vertikal (pothole) di Papua maka kedalamannya berpotensi mengalahkan Gua Voronja di Georgia!

Sumber : (SH/gatot irawan )

Selasa, 14 Oktober 2008

Kepakan Sayapku !







Keterangan Foto :Atas-Bawah >> Pendakian Sidole 1999>>Puncak Gn. Katopasha 2002>>Puncak Gn. Arjuna 2001>> Gn Semeru 2000>>Taman Nasional Lore Lindu>>



Setitik Memory !!!

Jumat, 10 Oktober 2008

Bumi Indonesia

Dampak Pemanasan Global, Indonesia Hancur

Indonesia sejak dini harus mengantisipasi dampak buruk memanasnya iklim global beberapa tahun mendatang. Pemanasan tersebut bisa mengakibatkan kemarau panjang, banjir, merosotnya produktivitas pertanian, tenggelamnya pulau, dan mewabahnya malaria.

Direktur Eksekutif Pelangi Agus Pratama Sari mengungkapkan hal tersebut saat konferensi pers di Jakarta kemarin.

Menurut Agus, suhu permukaan bumi berdasarkan kajian Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2070 akan meningkat antara 1,5-6 derajat Celcius dibanding saat ini. Peningkatan suhu permukaan bumi ini akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca seperti karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida di atmosfir bumi.

Di Indonesia sendiri, tuturnya, akibat perubahan iklim akan membuat suhu meningkat menjadi 1,6-3,0 derajat Celcius pada 2050-2070 berdasarkan perkiraaan Canadian Climate Change Model dan United Kingdom Meteorological Office.

Sedangkan menurut perkiraan dua lembaga Amerika Serikat, yaitu Global Fluid Dynamic dan Goddart International Space Study, suhu Indonesia akan meningkat 2 hingga 4,2 derajat Celcius.

Direktur Eksekutif Pelangi ini menambahkan emisi gas rumah kaca Indonesia meningkat drastis sejak 1970-an. Pada 1970 emisi CO2 masih di bawah 50 juta ton, meningkat menjadi di atas 250 juta ton pada 1995.

''Meningkatnya emisi gas CO2 di Indonesia akibat penggunaan bahan bakar bakar minyak yang semakin meningkat dan semakin rusaknya hutan yang berfungsi menyerap gas CO2,'' katanya.

Akibat pemanasan global ini, negara-negara tropis dan kepulauan seperti Indonesia akan lebih banyak dirugikan. Pasalnya dengan meningkatnya suhu, permukaan air laut akan meningkat sehingga akan membuat pulau-pulau akan tenggelam.

Pada 2070, tutur Agus, dengan perkiraan tinggi permukaan air laut meningkat 60 cm, dua ribu pulau akan tenggelam.

Selain itu, peningkatan suhu juga diperkirakan membuat musim kemarau Indonesia semakin panjang dan memunculkan bencana kekeringan. Sebaliknya musim hujan semakin pendek, tapi dengan curah semakin tinggi sehingga bisa menyebabkan banjir. Dalam kondisi seperti ini beberapa penyakit di antaranya demam berdarah dan malaria akan banyak muncul.

Peningkatan suhu juga diperkirakan akan membuat banyak tanaman pangan merosot produktivitasnya. Produktivitas kacang kedelai dan jagung diperkirakan akan merosot masing-masing sebesar 20% dan 40%, sedangkan padi diperkirakan menurun 2,5%. Namun bagi negara-negara subtropis yang memiliki musim dingin seperti Kanada dan China justru diuntungkan. Pasalnya, akibat perubahan iklim, musim salju akan semakin pendek, sehingga menguntungkan dari sisi pertanian.

Bagi Indonesia sendiri akibat berbagai bencana, diperkirakan mulai 2010 setiap tahun harus mengalokasikan 10% dari pendapatan kotor nasional (PDB) guna menangani berbagai bencana akibat perubahan iklim.

Antisipasi

Menurut Agus, berbagai langkah yang dilakukan dunia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seperti tertuang dalam Protocol Kyoto tidak akan cukup. Pasalnya dalam Protocol Kyoto, penurunan emisi gas rumah kaca ditargetkan menurun 5% pada 2010 dari jumlah emisi pada 1990. Target itu pun hanya dikenakan pada negara-negara maju.

''Padahal, untuk menghindari peningkatan iklim bumi, perlu dilakukan penurunan sebanyak 60-70% emisi gas rumah kaca sekarang juga.''

Karena tidak mungkin menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga peningkatan suhu tidak bisa terhindarkan, tuturnya, yang perlu dilakukan adalah membuat serangkaian langkah untuk mengantisipasi meningkatnya suhu bumi.

Berbagai langkah yang perlu dilakukan pemerintah di antaranya melakukan upaya pencegahan agar perubahan iklim dapat diperlambat, sehingga dampaknya tidak terlalu ekstrem. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah menghentikan laju kerusakan hutan dan merehabilitasinya.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai mengkaji dan menerapkan manajemen dampak perubahan iklim yang akan terjadi.

''Kasus banjir yang terjadi pada Februari tahun ini merupakan contoh dari ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi bencana. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi,'' tegas Agus.

Jakarta, Media Indonesia -

Taman Nasional

Pemburu Burung di Kawasan TNGP Ditindak



Sukabumi, Kepala Bidang Pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) wilayah Sukabumi, Widada, menyatakan, akan menindak secara tegas pemburu burung yang melakukan aktivitasnya di kawasan TNGP, pasalnya semua burung yang berada di kawasan tersebut dilindungi.

Terungkapnya fakta ada perburuan burung di kawasan Balai Besar TNGP tersebut ketika empat orang yang mengaku pemburu burung menemukan mayat bernama Uha Halimah (73) di kaki Gunung Gede pada Sabtu (4/10) lalu. Empat orang warga yang mengaku berburu burung dan menemukan mayat tersebut adalah Umar Yusman (50), Asep Babe, Jajat Sudrajat dan Unang keempatnya warga Kampung Selaawi RT 16 RW 04 Desa Warnasari Kecamatan Sukabumi.

Mereka secara leluasa memasuki kawasan Taman Nasional dengan membawa senjata senapan angin untuk berburu burung yang sebenarnya di lindungi di kawasan tersebut.

Widada mengatakan, pihaknya belum mengetahui banyaknya aktivitas perburuan burung di kawasan TNGP karena selama ini belum pernah ada yang tertangkap tangan, pasalnya biasanya mereka masuk tanpa membawa peralatan untuk memburu.

"Kendati demikian, kami akan menindak tegas jika ada warga yang melakukan perburuan burung di kawasan tersebut. Karena seluruh habitat di kawasan tersebut termasuk burung adalah hewan yang dilindungi," paparnya.

Menurut dia, petugas secara rutin melakukan patroli di kawasan TNGP dan sejumlah sukarelawan juga membantu penjagaan kawasan tersebut dari aktifitas perburuan burung.

Seorang Polisi Hutan (Polhut) di kawasan TNGP, Syarif Hidayat, menegaskan, akan segera menindaklanjuti laporan adanya aktifitas perburuan burung.

"Kami akan melakukan patroli dengan intensif untuk menjaga kawasan TNGP dari perburuan. Kalau dibiarkan terus berlangsung maka akan mengancam keberadaan burung di kawasan TNGP," katanya seraya menambahkan di TNGP terdapat sebanyak 251 jenis burung yang dilindungi keberadaannya.

Ditempat terpisah, salah seorang aktifis lingkungan Kusukabumiku, Budiyanto menyatakan keprihatinannya atas maraknya praktek perburuan burung di kawasan TNGP, pasalnya seluruh habitat yang ada di kawasan TNGP dilindungi dan dilarang untuk melakukan aktivitas perburuan.

Ia berharap semua pihak harus peduli terhadap keberadaan kawasan konservasi tersebut karena jika tidak, maka akan mengancam kelangsungan hidup manusia, terutama warga di sekitar hutan.

"Petugas TNGP sebagai pemegang amanah harus menjadi garda terdepan untuk menjaga kawasan tersebut, termasuk menyosialisasikan berbagai program konservasi kepada seluruh elemen masyarakat," ujarnya.

Sumber : ANTARA News

Bumi Yang Semakin Tua

Dapatkah Pemanasan Global

Mencairkan Seluruh Es di Bumi?



Moskow - Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter.

Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut.

Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.

"Institut kami telah mempersiapkan atlas yang menggambarkan tempat-tempat dengan sumber es dan salju di seluruh dunia, bahkan kami juga telah menyiapkan model peta dunia dengan tanpa lapisan es," katanya.

Hal ini, bagaimanapun juga, hanyalah sebuah model, bukan ramalan. Akan tetapi, peringatan dari sebuah ramalan tetap saja ada jika pemanasan global yang telah terlihat pada akhir abad ke-20 ini berlanjut untuk beberapa dekade kedepan -- banyak es di samudra Artik akan mencair.

Ada sebuah prasyarat yang penting: Sekalipun es Artik harus mencair, ketinggian permukaan laut tidak akan berubah karena volume air yang dihasilkan oleh es yang mencair sama dengan volume air yang digantikan ketika es tersebut mengambang.

Tingkat bahayanya berbeda: pemanasan dapat memicu pencairan pulau sebesar satu benua es. Saat ini, lapisan es terbesar menutupi Antartika, dimana 90 persen es dunia berada di sana dan Greenland. Cairnya lapisan es ini dipastikan dapat membawa kehancuran.

Lantas, adakah alasan untuk panik? Tingkat suhu yang naik antara 3-6 derajat celcius dalam beberapa abad ke depan diyakini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan bagi Antartika, dimana suhu rata-rata di sana kurang dari 40 derajat di bawah nol.

Proses yang terjadi pada lapisan permafrost bahkan lebih rumit lagi bila dibandingkan dengan proses yang terjadi pada es itu sendiri.

Musim dingin pada beberapa dekade terakhir sedikit tidak normal. Karena itu, lapisan permafrost yang tertutup es di wilayah Artik mulai berkurang dan mencair. Masa pemanasan sebenarnya dapat terlihat, bahkan semakin dekat.

Proses paling alami di bumi adalah sebuah siklus, dengan ritme yang pendek atau panjang. Tetapi, apapun yang terlihat, kenaikan suhu tidak dapat dihindari akan diikuti oleh penurunan, dan sebaliknya.

Penelitian tentang inti es yang dilakukan oleh stasiun Antartik Vostok milik Rusia menunjukkan bahwa ini adalah apa yang telah terjadi di bumi untuk paling sedikit 400.000 tahun.

Saat ini, para ilmuwan mengatakan bahwa mencairnya lapisan es mulai berhenti, yang telah dibuktikan dari data yang didapatkan oleh stasiun meteorologi di sepanjang pantai Artik Rusia.

"Kami saat ini sedang mempelajari pengaruh dari atmosfer dan lapisan salju yang menutupi lapisan permafrost," kata Osokin seperti dikutip Ria Novosti.

Di wilayah yang tertutupi lapisan permafrost, sebuah lapisan mencair pada musim panas, ketika suhu naik di atas nol. Namun demikian, pada musim dingin lapisan ini kembali membeku. Ini adalah proses yang normal: mencair, membeku.

Akan tetapi, jika musim dingin secara tidak normal menjadi hangat, lapisan yang mencair tidak membeku kembali. Kemudian, lapisan yang disebut talik, dengan suhu sekitar nol, terbentuk. Ini adalah suatu hal yang cukup mengganggu bagi bangunan-bangunan dan pipa-pipa.

Terlihat jelas bahwa lapisan es seharusnya mencair jika suhu meningkat. Akan tetapi, banyak tempat yang menyaksikan hal berbeda. Suhu rata-rata tahunan bertambah tinggi, tetapi lapisan es tidak mencair, bahkan bertambah luas.

Kenapa? Karena faktor yang paling penting adalah adanya lapisan salju. Pemanasan global mengurangi lapisan ini, yang pada akhirnya membentuk semacam penyumbat panas bagi lapisan es yang lebih tipis. Sehingga es yang paling lunak sekalipun dapat membekukan tanah di bawahnya.

Di banyak tempat, tanah yang membeku dalamnya sekitar 500-800 meter. Bahkan jika perkiraan pemanasan tertinggi menjadi kenyataan dan suhu naik dengan 3-6 derajat, tidak lebih dari 20 meter tanah yang beku akan mencair.

Beberapa orang takut bahwa lapisan es yang mencair akan mencemari udara dengan metana yang menguap. Akan tetapi, air yang membeku hanya membutuhkan 15 persen dari lapisan berkedalaman 20 meter, dan jumlah gas yang menguap tidak signifikan. Jadi, manusia hanya akan menerima dampak yang kurang menyenangkan ini dalam beberapa ratus tahun mendatang.

Saat ini, para ilmuwan tidak begitu mengkhawatirkan pemanasan global sebagai suatu perubahan dalam sirkulasi atmosfer. Dalam beberapa tahun belakangan ini, apa yang disebut dengan pergeseran barat telah mendominasi, yang berarti bahwa udara bergerak dari wilayah barat menuju timur.

Sedikit sekali yang membicarakan mengenai pergeseran meridian, bergerak dari selatan ke utara dan sebaliknya. Sekarang, pergeseran meridian menjadi sering.

Jika angin bergerak menuju selatan, maka akan timbul udara dingin; jika bergerak ke utara, angin membawa udara hangat dan hujan pada musim dingin.

Hal ini mengakibatkan meleleh dan bergeraknya salju es baik pada situasi biasa maupun dalam hujan salju yang lebat, mengakibatkan longsor dan Lumpur di pegunungan.

Proses meridian telah menjadi suatu rutinitas akhir-akhir ini, yang menjanjikan sebuah perhitungan anomali udara yang berbeda; suhu yang tinggi dan rendah, hujan deras dan hujan salju serta banjir dalam waktu yang lama, yang pastinya akan membawa kepada kehancuran.

Dari :
(ANTARA News/Ria Novosti)