#Terima Kasih Atas Kunjungan Anda di Blog Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam LALIMPALA Univ. Tadulako Palu Sulawesi Tengah-Indonesia# Selamatkan Bumi Indonesia hari ini dan mulai dari lingkungan kita sendiri#Save Our Earth

Rabu, 08 Februari 2012

Serunya Drama dibalik Perubahan Iklim



Polemik nyata atau tidaknya Perubahan Iklim atau bahasa keren-nya Climate Change sempat mewarnai diskusi internasional beberapa tahun lalu. Sebagian ahli iklim sangat yakin bahwa bumi memang berada pada kondisi yang sudah tidak normal. Diantara pengusung isu perubahan iklim itu yang paling mencolok adalah mantan Wakil Presiden Amerika, Al Gore.

Kampanye Algore tentang perubahan iklim mendapat tentangan dari sebagian publik dan ilmuan Amerika sendiri. Menurut mereka bumi hanya melewati siklus alaminya, sama seperti zaman dulu, dimana bumi pernah mengalami beberapakali perubahan cuaca ekstrim.

Gore dan ilmuan pengusung teori perubahan iklim kemudian dituduh menyebarkan berita bohong dan hanya mencari sensasi saja. Perjuangan dan keteguhan Gore akhirnya mengantarkannya menerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007.


Beberapa tahun kemudian, analis Gore cs memang kian tampak. Beberapa bukti menunjukkan pengukuran suhu air laut di Kutub semakin meningkat, sebagian wilayah tutupan salju pun mulai menipis bahkan menghilang, berganti tanah.

Aktifitas manusia dalam mengembangkan teknologi menuju kehidupan yang – katanya  – lebih baik, dituding sebagai penyebab meningkatnya suhu bumi. Hal ini mengakibatkan perubahan cuaca di beberapa wilayah di bumi.

Menurut analis perubahan iklim, pada kondisi ekstrim, cuaca yang tidak pernah hadir di suatu daerah akan menghampiri daerah itu suatu ketika. Daerah yang panas bisa bertambah panas atau malah menjadi dingin, daerah dingin bisa bertambah dingin atau malah menjadi panas.

Perubahan ini akan sangat memperngaruhi kehidupan mahluk di bumi. Hewan dan tumbuhan yang tidak siap dengan perubahan iklim yang singkat ini disinyalir akan punah. Solusi bagi mereka adalah pindah kedaerah yang memiliki cuaca yang cocok dengan mereka. Maka akan terjadi eksodus atau perpindahan besar-besaran hewan.

Bagaimana dengan manusia yang sudah memiliki pengetahuan jauh diatas hewan apalagi tumbuhan?.
Seyogyanya manusia sudah mengembangkan fasilitas dan peralatan canggih untuk menghadapi ancaman ini. Seyogyanya.

Tapi bagaimana kenyataanya?

Ternyata setelah menghasilkan berton-ton emisi berbahaya untuk mengembangkan teknologi, manusia belum juga cukup cerdas untuk menanggulangi cuaca ekstrim. 

Awal februari 2012, Kantor berita Agence France Presse pada hari Senin (6/2) merilis berita mengejutkan. Badai dingin telah menewaskan 360 orang di seluruh Eropa, korban terbesar berada di Ukraina dengan jumlah korban jiwa 131 orang. Selain korban jiwa, terdapat ribuan warga dirawat dirumah sakit. Jumlah ini terus meningkat setiap harinya.

Dari belahan selatan bumi dikabarkan, Australia salah satu wilayah terkering di dunia, mengalami curah hujan diluar ambang normal sepanjang Januari hingga Ferbruari 2012. Intensitas hujan mencapai 277 milimeter, hal ini menyebabkan pemerintah Negara bagian Queensland harus melakukan evakuasi terbesar yang pernah dilakukan di wilayah itu. 

Sebanyak 2.500 orang harus diungsikan untuk menghindari luapan air yang mencapai ketinggian 14 meter. Tahun lalu, banjir dinegara bagian Australia ini menewaskan 35 orang.

Lalu, apakah terlambat untuk mencegah bencana yang semakin hari semakin memburuk?

Diskusi internasional terkait Climate Change masih terus dilakukan. Hampir semua ilmuan kini mengakui bahwa bumi sedang menuju kehancuran jika tak dicegah. Satu-satunya jalan menurut para ilmuan adalah mengurangi emisi gas berbahaya dari aktifitas manusia, seperti polusi udara dan mengembalikan fungsi hutan.

Pohon merupakan satu-satunya alat yang dapat menangkap gas emisi berbahaya kemudian mengubah dan menjinakkanya menjadi gas alami. Negara-negara bersepakat membicarakan langkah-langkah pencegahan dalam pertemuan tingkat tinggi tiap tahun yang disebut Conference of the Parties (COP) yang difasilitasi oleh badan PBB, UNFCCC.

Pertemuan ini awalnya berlangsung di Rio de Jeneiro, Brazil yang menghasilkan Protokol Kyoto (selengkapnya ada ditulisan selanjutnya). Pada COP 13 di Bali, Indonesia lahirlah skema REDD sebagai salah satu solusi yang ditawarkan. 

Hingga kini pembicaraan terkait solusi yang tepat masih terus dilakukan.
Negara maju belum sepenuhnya berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebab menurut mereka akan mempengaruhi industry dan jalannya roda ekonomi. Sebagian Negara berkembang tak mau melaksanakan program REDD jika Negara maju belum mau mengurangi emisi, meskipun Negara maju menyediakan biaya yang besar.

Bagaimana kelanjutannya? Kita nantikan episode selanjutnya. (Ojan)

tulisan terkait: