#Terima Kasih Atas Kunjungan Anda di Blog Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam LALIMPALA Univ. Tadulako Palu Sulawesi Tengah-Indonesia# Selamatkan Bumi Indonesia hari ini dan mulai dari lingkungan kita sendiri#Save Our Earth

Kamis, 28 Mei 2009

Petualang tanpa Jejak

Di negeri ini, telah menyajikan berbagai arena petualangan yang sangat menantang bagi para penggiat alam bebas. Umumnya pada petualang alam bebas, para penggiatnya sangat gemar untuk menejelajahi wilayah baru sebagai satu rangkaian dari aktivitas petualangannya. Apalagi dengan tersedianya alat dan pengetahuan petualangan yang baik, akan mempengaruhi psikologi mereka untuk lebih mengeksplor lagi keinginan dan kemampuan mereka.
Tapi tidak sedikit para penggiat alam bebas hanya mengandalkan kemauan dan keingintahuan saja, tanpa memperdulikan keselamatan jiwa dan tujuan mereka sebelum melakukan aktivitas alam bebas. Sebagaimana dengan beberapa kejadian yang real di depan mata kita, misalnya pendaki yang hilang/tersesat di gunung gede pangrango, ceremai dan Argopuro. merupakan beberapa aktivitas petualangan yang tidak diinginkan oleh semua petualang alam bebas.
Petualangan yang baik seharusnya memperhatikan beberapa hal, misalnya :
1. Anggota tim
2. Kelengkapan logistik petualangan
3. Tujuan petualangan
4. Mengikuti alur perizinan/pelaporan

beberapa kriteri ini merupakan hal-hal standar yang harus dimiliki penggiat alam bebas, sehingga dalam aktivitas petualangannya akan merasa aman dan terarah.
Anggota tim seharusnya sudah menguasai tekhnik dasar petualangan dan telah berbagi tugas sebagai tanggung jawab personal tim serta siap dengan psikologi yang baik.
kelengkapan logistik petualangan minimal harus standar dan makanan yang disesuaikan dengan medan (pemakaian kalori dll).
Tujuan Petualangan seharusnya di pastikan/jelas, misalnya ke gunung mana ?.
Mengikuti alur perizinan/pelaporan, minimal diketahui oleh ketua organisasi dengan memberikan laporan tertulis tentang anggota tim, logistik dan tujuan petualangan serta selalu memberikan laporan ke petugas pos pendakian atau pemerintah setempat.

Keinginan berpetualang jangan diartikan dengan menggunakan berbagai cara yang tidak lazim dalam dunia petualangan alam bebas, sebab akan berdampak kurang baik dalam melakukan petualangan.
Petualang yang baik, bukan menghitung berapa tempat yang telah di jelajahi tetapi kemajuan apa yang di peroleh dari sebuah petualangan.

Jumat, 22 Mei 2009

Komunitas di Pedalaman Sulawesi Tengah

TAU TAA WANA


Secara etnografis, Tau (orang) Taa atau To Wana merupakan sub etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona yang mendiami wilayah-wilayah sekitar sungai Bongka, Ulubongka, Bungku Utara dan Barong. Orang Wana memakai dialek Wana yang termasuk di dalam rumpun bahasa Pamona sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Dialek Wana juga disebut dialek Taa, sebuah varian dalam bahasa Pamona (Atkinson, 1992).


Catatan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh Walter Kaudern pada tahun 1917-1920, menjumpai sebuah
komunitas rumpun Poso-Toradja dengan sebutan To Ampana (Taa) di wilayah pesisir pantai sekitar Tanjung Api sebagaimana layaknya yang terdapat di kawasan aliran sungai Bongka. Di kawasan pedalaman di lengan timur laut Sulawesi, tinggallah sekelompok komunitas asli dari To Ampana (Taa). Juga dijumpai keberadaan mereka di sekitar dan sepanjang DAS Bongka dengan sebutan To Wana, yang berarti “orang yang memiliki hutan/ tinggal di hutan”. Mereka ini bukanlah komunitas yang berbeda, namun merupakan komunitas yang sama dengan To Ampana, hanya saja mereka tinggal di kawasan pedalaman hutan. Selanjutnya menurut Kaudern dengan mengutip catatan Kruyt, To Wana ini tinggal di kawasan berlembah sepanjang aliran sungai Bongka, dimana tempat-tempat yang masih terekam dalam catatan tersebut antara lain : Bongka Soa, Bintori, Karato, ngKananga, Karoepa, dan Bone Bae.
Berdasarkan asal usul orang Taa-Wana, Kruyt (1930) membagi orang Wana dalam empat suku besar, yakni pertama suku Burangas (dari Luwuk mendiami desa Lijo, Parangisi, Winanga Bino, Uepakatu dan Salubiro); kedua suku Kasiala berasal dari Tojo pantai (Teluk Tomini) yang mendiami desa Manyoe, Sea, juga sebagian desa Winanga Bino, Uepakatu dan Parangisi; ketiga suku Posangke yang berasal dari Poso, menempati wilayah Kajupoli, desa Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro; dan keempat suku Untunu Ue (hulu sungai) mendiami lokasi Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro dan Rompi.

Secara linguistik, menurut Alvard (1999) orang Wana bertutur dalam bahasa Taa yaitu sebuah bahasa yang banyak digunakan disekitar kawasan pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali. Orang Wana Posangke mendiami daerah dataran tinggi yang berlembah di sebelah barat Cagar Alam Morowali, yang lokasi mukimnya tersebar di sepanjang sungai Salato, sungai Sumi’i, sungai Uwe Kiumo dan Uwe Waju. Sumber mata air sungai Salato berhulu di Gunung Tokala dan bermuara di sebelah barat (Teluk Tolo).

Wilayah sebaran utama “Tau Taa Wana”, pada umumnya membentang dari bagian timur dan dan timur laut Cagar Alam Morowali (Kabupaten Morowali) sampai di bagian barat Pegunungan Batui (Kabupaten Banggai) dan Pegunungan Balingara (Kabupaten Poso – sekarang Tojo Una-Una) dalam wilayah tersebut konsentrasi terbesar pemukiman komunal (lipu) mereka, berada di sekitar gunung Tokala, Ponggawa, Katopasa dan lumut.

Masyarakat Adat Taa Wana yang dimaksud adalah kelompok “Wana” yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan, dengan alasan bahwa kosa kata tersebut tidak menghilangkan cara mereka mengidentifikasi diri dan untuk membedakan mereka dengan komunitas “Topa Taa” yang tidak lagi memenuhi unsur-unsur sebagai masyarakat hukum adat.

Sumber : http://www.ymp.or.id/

Rabu, 20 Mei 2009

“Daki Wajib Gunung Sidole 2009”

“Daki Wajib Gunung Sidole 2009”
MAPALA LALIMPALA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO
Menguak Mitos “SIDOLE”

Gunung Sidole terletak pada perbatasan dua wilayah Kabupaten yaitu Donggala dan Parimo (Parigi-Mautong) tepatnya antara Kecamatan Sindue dan Kecamatan Ampibabo. Adapun lokasi Gunung Sidole masih kontroversial, hal ini disebabkan pada lembaran peta Tavaili oleh Bakosurtanal edisi I tahun 1991 lembar 2015-34, menerangkan bahwa puncak tertinggi adalah ‘Bulu’ Sinio (Gunung Sinio dalam bahasa Kaili), akan tetapi pada kenyataannya masyarakat setempat menyebutkan bahwa puncak tersebut adalah Bulu Semen, karena pada puncaknya terdapat tugu/triangulasi buatan tangan para pendahulu kita yang hidup pada masa kolonial Belanda di bumi Tadulako. Namun pada peta, Gunung Semen terletak tiga karvak ke arah selatan dari puncak Gunung Sinio, sedangkan yang kami kenal puncak tertinggi tersebut bernama Bulu Sidole atau Gunung Sidole dan bukanlah Gunung Sinio. Dalam beberapa kali Expedisi Buka Jalur yang berhasil dilakukan oleh tim dari Mapala Lalimpala, diperoleh bahwa lokasi titik koordinat puncak tersebut berada tepat di Gunung Sidole. Mengenai masalah identitas puncak-puncak kontroversial tersebut, menurut hemat kami hal tersebut terjadi dikarenakan kesalahan penempatan beberapa nama puncak pada lembar peta Tavaili khususnya antara puncak Sidole, Sinio, dan Semen. Hal tersebut diatas kami simpulkan dengan memperhatikan beberapa nama jalan di Kota Palu yang menggunakan nama dari sebagian puncak tertinggi di Sulawesi Tengah dan salah satunya ialah Gunung Sidole. Oleh karena itu, maka tim kali ini sepakat, menamakan Daki Wajib Gunung Sidole 2009 sesuai dengan program Mapala Lalimpala periode 2008/2009.
Dalam pendakian sebelumnya Tim dari Mapala Lalimpala telah beberapa kali merintis jalur pendakian yang berhasil menggapai puncak, yakni pertama pada tahun 1997, dari Desa Sidole (Pantai Timur) – Puncak yang memakan waktu 5 hari perjalanan. Kedua pada tahun 1998 yang start dan berakhir di lokasi yang sama. Ketiga pada tahun 2003 dari Desa Wani (Pantai Barat) – Puncak – Desa Towera (Pantai Timur) yang menggunakan sistem Himalayan Style dengan total 7 hari perjalanan. Keempat pada 11 Februari 2007 untuk melaksanakan kegiatan Buka Jalur Tetap Gunung Sidole menempuh rute Taripa – Puncak Sidole– Taripa (Alpine Style). Atas restu dari Dekan FKIP, Pembina, Ketua dan mereka-mereka yang kami cintai, personil tim yang terbentuk dan berjumlah 10 orang terdiri dari Fery, Ardiansyah, Dedi yang bertindak sebagai Pendamping Daki Wajib sedangkan Arifuddin, Mu’minah, Nila Pratiwi, Nirsam, Andi Akmar, Alam dan Febri sebagai peserta Daki wajib yag diketuai oleh Arifuddin. Berangkat untuk melakukan kegiatan Daki Wajib Gunung Sidole dalam rangkaian pengambilan Nomor Induk Lalimpala, tepatnya pada tanggal 31 Januari sampai tanggal 06 Februari 2009. Setelah kepala Desa Taripa memberi izin pendakian, maka pagi hari tanggal 31 Februari 2009 pukul 16.25 wita berbekal manajemen tim ala Lalimpala, traking dimulai dengan menyusuri Binangga Toaya (Sungai Toaya dalam bahasa Kaili) yang mengalir di wilayah desa Taripa dan tim juga melintasi perkebunan penduduk dengan tujuan Bulu Toposo. Tanaman khas pertanian masyarakat banyak dijumpai, utamanya durian yang sedang berbunga lebat pada bulan tersebut. Tim juga sempat mengisi kantong- kantong airnya di Sumur Lesung untuk persiapan kebutuhan makan malam di pos I. Keunikan yang dimilikinya ialah memiliki air yang sangat jernih dan berasal dari tanaman bambu yang banyak tumbuh disekitarnya, ukuran diameternya mencapai 50 X 50 Cm dengan kedalaman 60 Cm. Tim
Sugesti yang muncul dari pendakian-pendakian sebelumnya bahwa “perempuan” tidak akan pernah tembus sampai ke puncak jika melakukan pendakian di Gunung Sidole. Mulai dirasakan oleh tim pada hari kedua pendakian, tim mendapatkan trouble, yakni berputar-putar pada satu jalur yang sama dan tidak berpindah tempat. Seperti yang disampaikan oleh Andi Akmar saat itu, “kayaknya torang Cuma disini-sini terus. Ini kan tempat kita istirahat tadi, temen-teman ingatkan pohon ini”. Akhirnya tim memutuskan nge camp di dekat sungai kering untuk brifing membicarakan langkah yang akan diambil. Karena, merasa tersugesti oleh mitos perempuan tidak akan sampai puncak, maka Leader memutuskan melakukan kontak ke pos Induk (Base Camp Lalimpala) dan menceritakan kronologi masalah yang terjadi.
Setelah menganalisa informasi yang diterima, maka Tim Posko Induk memberikan motivasi dan pertimbangan jalur mana yang tepat menuju puncak dengan menggambarkanya melalui peta. Perlu diketahui bahwa sepanjang jalur pendakian Gunung Sidole, signal telpon genggam (Hp) sangat mendukung komunikasi tim pendakian sehingga tim tidak menggunakan lagi bantuan komunikasi seperti handy talky.
Setelah Tim menerima informasi dari posko induk maka tim mulai membakar dan
kembali membaca medan sebenarnya dengan gambaran medan yang ada di peta. Dengan begitu hari ketiga mereka dapat kembali melanjutkan perjalanan pada jalur yang tepat sesuai dengan rute jalur pendakian yang ada di peta. Merasakan lebatnya hutan primer khas Sulawesi serta medan yang mulai menanjak, sehingga tak pelak lagi membuat kami mengeluarkan peralatan khusus yang dimiliki untuk buka jalur ” tutur Arifuddin .
Tanggal 04 Februari 2009 tim berada di kaki puncak gunung sidole yakni di pos IV yang banyak dihuni oleh agas dan pacet (sebutan orang Palu) serta suhu yang dingin pada keinggian 1578 mdpl sangat mengganggu kenyamanan personil tim yang beristirahat memulihkan stamina. Dari 10 orang personil terdapat satu orang anggota tim yang merasa tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, dan ternyata dia seorang perempuan (Mu’minah). Sesuai dengan sugesti mitos yang mereka ketahui maka mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Untuk memecahkan mitos tersebut maka tim pun bersikeras dengan perhitungan yang matang untuk memulai perjalan pada hari kelima pendakian, menuju puncak.
Suhu terasa beku dihari kedua tanggal 05 Februari 2009, kabut masih sibuk meletakan butir-butir embun pada dedaunan dan lumut. Mentari perlahan naik memberi salam pada tim Daki wajib untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Perjalanan dimulai pukul 08.00 WITA menyusuri hutan basah dengan vegetasi pepohonan damar. Motivasi, semangat, kebersamaan dan kemampuan pengetahuan Ilmu Medan Peta Kompas yang mereka dapatkan di Mapala Lalimpala, maka Tim mencapai puncak pada pukul 17.00 WITA. Sorak kegembiraan, tawa dan tangis kebahagiaan serta kebanggaan mencapai puncak terlihat pada wajah seluruh anggota tim, setelah Andi Akmar yang berjalan di depan melihat Triangulasi (tugu yang menandakan puncak gunung sidole) dan berteriak “ woy puncak, ayo cepat sudah”. Semua personil tim bergegas menyusul Andi Akmar merayakan keberhasilan dan kebanggaan sebagai Perempuan-perempuan Pertama yang Mencapai Puncak Gunung Sidole dengan mengambil pose sebagai data dan dokumentasi pendakian untuk dilaporkan kepada pengurus Mapala Lalimpala FKIP UNTAD. Melihat kondisi Mu’minah yang tidak stabil, maka Leader memutuskan untuk bermalam di puncak dan malanjutkan perjalanan pulang pada keseokan harinya tanggal 06 Februari 2009. Tim Daki Wajib Gunung Sidole tiba di Base Camp Lalimpala sebagai Pos Induk daki wajib pada hari sabtu 07 Februari 2009 pukul 19.30 WITA.
Selamat datang kembali rajwali-rajawali muda, terus kepakkan sayapmu menyemai keberhasilan dengan benih-benih kebersamaan dalam petualangan yang sesungguhnya. Apa yang kalian lakukan ini adalah langkah awal untuk belajar mencintai alam sehingga nanti akan dapat menjaga dan melestarikan alam, ungkap Koordinator Badan Senior Mapala Lalimpala periode 2008/2009.

Senin, 11 Mei 2009

Lomba Total Orientering Mapala Lalimpala


Mapala Lalimpala dalam dunia petualangan di sulawesi tengah, telah melakukan berbagai hal yang telah menjadikan organisasi ini menjadi tetap eksis di dunia Pecinta Alam.
"Ada beberapa kegiatan yang di lakukan oleh pengurus tahun ini, tapi salah satunya adalah lomba orientering tingkat nasional" kata M. Iqbal selaku ketua Mapala Lalimpala.

kegiatan ini bertujuan untuk lebih memperkenalkan ke masyarakat Sulawesi Tengah kalau di dalam kegiatan-kegiatan yang di lakukan oleh Pecinta Alam, selain kegiatan petualangan juga terdapat banyak ilmu-ilmu baru yang tidak mungkin di peroleh dari dunia pendidikan formal kampus. Sehingga dengan adanya kegiatan ini selain untuk mengaplikasikan pengetahuan ilmu peta-kompas juga lebih mempererat lagi solidaritas yang selama ini masih merupakan kata pemersatu selain pecinta alam di kalangan penggiat alam bebas di negeri ini.

Mapala lalimpala dalam kegiatan ini telah di dukung oleh civitas akademika universitas Tadulako dan beberapa pihak sponsorship yang tertarik dalam dunia petualangan alam bebas.
nama kegiatan ini adalah Lomba "Total Orientering Nasional" ke 2, yang mengambil lokasi kegiatan di daerah Taman Nasional Lore Lindu yang sejak lama merupakan tempat favorit para pendaki di sulawesi tengah. Rencana kegiatan di laksanakan mulai tanggal 18 juli 2009 dengan total bonus Rp. 13 juta.

Dan mengenai undangan ke organisasi pecinta alam di seluruh indonesia telah di sebarkan sekitar tiga bulan yang lalu, dan sekiranya agenda ini akan selalu manjadi salah satu kegiatan di kepengurusan Mapala Lalimpala dari periode ke periode.

Sukses adalah harapan bagi kami dalam kegiatan ini !!!

Global Warming Ancam Ketersediaan Pangan Pada 2100


Pemanasan Global diperkirakan akan mengancam ketersediaan bahan makanan di seluruh penjuru dunia pada tahun 2100. Menurut Prof David Battisti dari University of Washington, Seattle, pemanasan global akan mengurangi produksi pertanian baik di wilayah tropis maupun subtropis.

Dilansir melalui RedOrbit, Sabtu (10/1/2009), tim yang dipimpin Battisti menggunakan 23 cara untuk memprediksi keadaan bumi di masa mendatang.

"Musim terpanas dalam pantauan akan terasa mewakili di banyak wilayah pada masa-masa mendatang," kata Battisti. "Tekanan akibat pemanasan temperature menyebabkan produksi pangan akan berkurang, dan penelitian kami itu belum termasuk dengan ancaman kekeringan yang disebabkan tingginya temperature bumi," tambahnya.

Di sebagian wilayah beriklim tropis, temperature dapat meningkat sekira 9 derajat Celsius di atas rata-rata musim panas, dan itu akan memangkas 20 hingga 40 persen produksi pangan.

"Karena wilayah itu merupakan tempat tinggal sekira 50 persen populasi penduduk dunia maka dampak dari perubahan iklim akan terasa semakin berat," ujar Battisti.

Sementara itu, rekan kerjasama Battisti dalam peneltian tersebut, direktur program ketahanan pangan Stanford University, Professor Rosamond Naylor mengatakan dunia harus segera melakukan adaptasi terhadap pemanasan global.

Inovasi-inovasi dalam pengembangan varietas unggul sangat dibutuhkan untuk mengatasi ancaman kekurangan stok pangan di masa mendatang


Sumber : http://techno.okezone.com//